Oleh : Ahmad Rosandi Sakir, S.I.P., M.A.P.
Dosen Ilmu Administrasi Negara FISIP Universitas Pattimura Ambon
10 November 2025 kembali menjadi panggung penghormatan bagi sejarah bangsa. Di Istana Negara, Presiden Republik Indonesia secara resmi menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada sepuluh tokoh yang dinilai telah memberikan kontribusi luar biasa bagi negeri ini.
Di antara mereka ada nama-nama besar yang akrab di telinga publik, Abdurrahman Wahid, Soeharto, Marsinah, Mochtar Kusumaatmadja, hingga tokoh daerah yang jasanya perlahan mulai diangkat kembali dari kabut sejarah, seperti Tuan Rondahaim Saragih dan Sultan Muhammad Salahuddin.
Upacara itu tidak hanya menjadi seremonial tahunan, tetapi juga penanda betapa panjang dan berliku jalan menuju pengakuan negara.
Gelar Pahlawan Nasional bukan sekadar penghormatan, tetapi juga cermin dari bagaimana bangsa ini menafsirkan makna “pengabdian” di tiap zamannya. Bahwa perjuangan tidak selalu identik dengan angkat senjata, tetapi juga dengan keberanian berpikir, membela nilai, dan menegakkan martabat manusia.
Proses seleksi yang dilakukan Kementerian Sosial, berlapis dari tingkat daerah hingga pusat, menunjukkan upaya menjaga objektivitas dan kesejarahan.
Namun di luar itu, publik selalu memiliki ruang untuk menafsirkan dan bahkan mempertanyakan: mengapa mereka yang dipilih, dan apa makna kepahlawanan di masa kini? Pertanyaan itu justru penting, sebab gelar bukan hanya milik masa lalu, tapi juga kompas moral bagi masa depan.
Nama-nama yang muncul tahun ini mencerminkan keberagaman wajah perjuangan Indonesia. Gus Dur, misalnya, menjadi simbol keberanian moral dalam membela kemanusiaan dan pluralitas di tengah arus intoleransi. Marsinah mewakili suara buruh yang menolak bungkam, mengingatkan kita bahwa keadilan sosial bukanlah hadiah, melainkan hasil perjuangan panjang.
Soeharto, dengan segala kontroversinya, diangkat sebagai pengingat bahwa sejarah bangsa juga penuh paradoks, antara pembangunan dan pelanggaran, antara ketertiban dan ketakutan.
Di sinilah letak keindahan sekaligus kerumitan bangsa ini: kita belajar untuk menghormati sejarah tanpa harus menutup mata terhadap luka-lukanya.
Mengakui jasa seseorang tidak berarti menghapus kritik terhadapnya; sebaliknya, mengkritik tidak berarti menafikan jasa yang pernah diberikan. Kepahlawanan, pada akhirnya, adalah narasi kompleks antara niat, tindakan, dan dampak.
Setiap generasi punya tafsir sendiri tentang siapa yang layak disebut pahlawan. Dulu, pahlawan adalah mereka yang bertempur di medan perang, mengangkat senjata melawan penjajah.
Kini, di tengah derasnya arus digital dan krisis nilai, pahlawan bisa berarti siapa pun yang berani jujur, menjaga integritas, dan menolak korupsi di lingkungannya.
Gelar Pahlawan Nasional menjadi pengingat bahwa kepahlawanan tak berhenti pada batu nisan dan upacara, tapi terus hidup dalam sikap keseharian.
Namun, di balik semua itu, kita perlu jujur: penghormatan simbolik sering kali tidak diikuti oleh penghargaan substansial terhadap nilai-nilai yang mereka perjuangkan.
Ketika buruh masih berjuang untuk upah layak, ketika toleransi masih goyah, dan ketika integritas masih kalah oleh pragmatisme, maka semangat Gus Dur dan Marsinah belum benar-benar hidup di antara kita.
Inilah pekerjaan rumah terbesar bangsa ini: menjadikan penghargaan bukan sekadar seremoni, melainkan gerakan moral kolektif.
Penetapan pahlawan setiap tahun seharusnya bukan hanya ajang mengenang, tapi juga momentum menilai diri sendiri.
Apakah kita, di tengah kemudahan dan kenyamanan hari ini, masih memiliki nyali untuk berbuat bagi kepentingan bersama? Apakah kita masih berani menyuarakan kebenaran ketika mayoritas memilih diam?
Pahlawan sejati tidak lahir dari penghormatan, tapi dari keberanian menolak tunduk pada ketidakadilan. Dan mungkin, di antara nama-nama yang belum tercatat dalam Keppres, masih banyak pahlawan tanpa gelar, guru di pelosok, petani di lahan kering, atau jurnalis yang menulis dengan nurani.
Hari Pahlawan 2025 bukan hanya peringatan masa lalu. Ia adalah cermin bagi masa kini, dan tantangan bagi masa depan: apakah bangsa ini masih sanggup melahirkan pahlawan di tengah kenyamanan yang sering membuat kita lupa berjuang? (*)












