Oleh : Harianto, S.Sos (ASN-Pemkab Lutra, Sulsel)
KARIR Aparatur Sipil Negara (ASN) di lingkungan pemerintah daerah selalu menjadi topik yang menarik sekaligus kontroversial. Di satu sisi, ASN diharapkan menjadi motor penggerak birokrasi yang profesional, netral, dan berorientasi pada pelayanan publik. Di sisi lain, realitas politik lokal sering kali menampilkan wajah yang berbeda: keberhasilan karir ASN tidak semata-mata ditentukan oleh kinerja obyektif, melainkan juga oleh kedekatan subyektif dengan kepala daerah. Pertanyaan pun muncul: masa depan karir ASN di pemerintah daerah, apakah lebih ditentukan oleh kapasitas profesional atau justru loyalitas politik?.
Dari sisi regulasi, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara menegaskan prinsip bahwa manajemen ASN harus dijalankan secara obyektif, profesional, dan berdasarkan sistem merit. Hal ini ditegaskan melalui asas netralitas dalam pasal 2 huruf f, yang menempatkan ASN sebagai pelaksana kebijakan publik yang tidak berpihak dari segala bentuk pengaruh manapun dan tidak memihak kepada kepentingan lain di luar kepentingan bangsa dan negara. Pasal 9 ayat (2) bahkan mempertegas, bahwa pegawai ASN harus bebas dari pengaruh dan intervensi semua golongan dan partai politik. Dengan kata lain, regulasi telah menggariskan bahwa karir ASN seharusnya lahir dari kinerja, bukan dari afiliasi politik.
Namun di lain sisi, pasal 29 ayat (1) di Undang-undang yang sama juga memberi kewenangan yang besar kepada kepala daerah (gubernur/bupati/walikota) sebagai Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK). Melalui kewenangan tersebut, kepala daerah berhak menetapkan pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian ASN di lingkup pemerintahannya. Idealnya, kewenangan ini dijalankan untuk memperkuat manajemen ASN berbasis merit. Tetapi dalam praktik politik lokal, kewenangan itu kerap digunakan sebagai instrumen patronase politik.
Di titik inilah terjadi tarik-menarik antara idealisme regulasi dan praktik politik. Kepala daerah adalah figur politik yang lahir dari proses demokrasi elektoral. Dalam praktiknya, salah satu momen paling rawan adalah pasca pelantikan kepala daerah hasil Pilkada. Secara psikologis, kepala daerah yang baru dilantik tentu ingin menempatkan orang-orang kepercayaannya dalam jabatan-jabatan strategis. Padahal, regulasi sudah memberikan pembatasan. Undang-undang Pemilihan (baca: UU Pilkada) secara tegas mengatur kepala daerah yang akan melakukan penggantian pejabat di lingkungan pemerintah daerah Provinsi atau Kabupaten/Kota harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Menteri Dalam Negeri. Secara implisit ketentuan ini dimaksudkan agar birokrasi tidak serta-merta dipolitisasi setelah pergantian rezim lokal, dan memberi waktu bagi kepala daerah memahami kondisi organisasi sebelum melakukan reposisi jabatan.
Namun dalam kenyataan, aturan ini kerap diuji. Beberapa kepala daerah menggunakan celah regulasi misalnya dengan mengajukan alasan kebutuhan organisasi untuk mendapatkan persetujuan Mendagri demi mempercepat mutasi pejabat. Akibatnya, birokrasi daerah rentan kembali terjebak dalam logika loyalitas politik, bukan logika kinerja.
logika politik elektoral inilah yang biasanya terbawa masuk ke dalam logika birokrasi. ASN yang dianggap loyal atau dekat dengan kepala daerah bisa memperoleh percepatan karir, sementara mereka yang berprestasi namun tidak memiliki akses politik terkadang justru kadang tersisih. Hal ini menciptakan ambiguitas: apakah karir ASN diukur dari kinerja obyektif atau dari kedekatan subyektif dengan pemegang kekuasaan saat itu?
Fenomena ini berdampak cukup serius pada kualitas birokrasi. Jika karir ASN lebih ditentukan oleh kedekatan politik, maka akan muncul budaya patronase dalam birokrasi. ASN tidak lagi termotivasi untuk menunjukkan prestasi kinerja, melainkan fokus mencari perlindungan atau kedekatan dengan patron politik. Akibatnya, birokrasi kehilangan profesionalisme dan rawan menjadi alat politik kekuasaan. Dalam jangka panjang, kondisi ini menghambat pembangunan daerah karena kebijakan publik bisa lebih diarahkan untuk kepentingan politik kepala daerah ketimbang kebutuhan masyarakat.
Regulasi sebenarnya sudah menyiapkan pagar hukum untuk mencegah hal itu. Pasal 24 ayat (1) huruf d UU ASN Nomor 20 Tahun 2023 menyebutkan kewajiban ASN untuk menjaga netralitas. Bahkan, pasal 52 ayat (3) huruf j menyatakan ASN dapat diberhentikan apabila terbukti menjadi anggota atau pengurus partai politik, sebuah sanksi keras untuk memastikan netralitas birokrasi. Lebih jauh, ketentuan pasal 63 mengamanatkan digitalisasi manajemen ASN, agar proses rekrutmen, promosi, hingga penilaian kinerja dapat berlangsung lebih efisien, transparan, dan akurat. Dengan digitalisasi, diharapkan meminimalisir ruang untuk manipulasi berbasis kedekatan personal.
Namun, jalan menuju sistem merit penuh sepertinya masih panjang. Di lapangan, berbagai laporan dan penelitian menunjukkan bahwa intervensi politik lokal dalam karir ASN masih kerap terjadi. Kepala daerah menggunakan kewenangannya sebagai PPK tidak hanya untuk menata organisasi, tetapi juga untuk mengonsolidasikan kekuasaan politik. Fakta menunjukkan bahwa mutasi pejabat ASN pasca Pilkada tidak jarang menjadi ajang “balas budi dan balas dendam politik”. Padahal, dengan adanya aturan dalam Undang-undang Pemilihan tentang penundaan 6 bulan, seharusnya proses pelantikan pejabat pasca Pilkada bisa menjadi instrumen penyaringan obyektif, bukan justru pintu masuk politisasi birokrasi. Hal ini menunjukkan bahwa regulasi yang ada belum sepenuhnya mampu membatasi dominasi politik atas birokrasi.
Lalu, bagaimana sebaiknya masa depan karir ASN di pemda? Ada tiga kunci. Pertama dan utama, komitmen kepala daerah untuk menempatkan kepentingan publik di atas kepentingan politik praktis. Kedua, penguatan peran BKN dan Kementerian PANRB, agar lebih efektif memastikan penerapan sistem merit dan mencegah praktik nepotisme serta politisasi jabatan. Ketiga, integritas ASN itu sendiri. ASN “harus berani” menjaga profesionalisme, menolak intervensi politik, dan membangun kinerja yang terukur, meski dihadapkan pada tekanan struktural.
Pada akhirnya, pertanyaan tentang masa depan karir ASN di pemda, –apakah ditentukan oleh kinerja obyektif atau kedekatan subyektif– masih menjadi dilema yang nyata. Regulasi sudah menekankan pentingnya meritokrasi, tetapi praktik politik masih memberi ruang besar bagi patronase. Jika tidak ada pembenahan serius, maka birokrasi akan terus terjebak dalam siklus loyalitas politik yang melemahkan profesionalisme. Namun, jika sistem merit ditegakkan secara konsisten, masa depan ASN dapat bergerak ke arah yang lebih obyektif, profesional, dan benar-benar berorientasi pada pelayanan publik.
Dengan demikian, pilihan ada pada arah kebijakan dan komitmen semua pihak: apakah birokrasi dibiarkan menjadi instrumen kekuasaan politik, atau ditata sebagai pilar pelayanan publik yang netral, profesional, dan berkeadilan. (*)












