Oleh: Ishak Muhammad (Wakil Sekretaria KNPI Palopo)
Isu dugaan keterlibatan suami Wali Kota Palopo, Trisal Tahir, dalam proses pengambilan keputusan pemerintahan kembali mengemuka dan menarik perhatian publik.
Kehadirannya dalam beberapa agenda resmi pemerintah kemudian dibaca oleh sebagian pihak sebagai sinyal keterlibatan lebih dari sekadar pendamping kepala daerah.
Namun, dalam perspektif tata kelola pemerintahan modern, apakah kehadiran pasangan pejabat dapat serta-merta dimaknai sebagai intervensi atau bentuk shadow power?
Dalam kajian politik dan pemerintahan, penting untuk membedakan antara persepsi dan realitas kekuasaan. Harold Lasswell dalam teori persepsi kekuasaan menjelaskan bahwa publik seringkali menilai siapa yang berkuasa bukan dari struktur formal, tetapi dari apa yang mereka lihat dan yakini.
Kedekatan personal kerap diasumsikan identik dengan kedekatan terhadap kekuasaan. Padahal, dalam kerangka bureaucratic governance, keputusan pemerintahan hanya sah jika dilakukan oleh pemangku otoritas resmi sesuai hukum yang berlaku.
Dengan demikian, persepsi publik tidak dapat menggantikan bukti administratif dan legal dalam menilai ada tidaknya penyimpangan kewenangan.
Pemerintah Kota Palopo telah menegaskan bahwa seluruh roda pemerintahan berjalan dalam koridor rule of law dan sesuai prinsip legalitas.
Kebijakan strategis tetap menjadi domain Wali Kota Naili Ahmad bersama perangkat daerah yang berwenang berdasarkan peraturan perundang-undangan. Di sisi lain, kehadiran pendamping kepala daerah dalam kegiatan pemerintahan bukanlah hal baru dalam tradisi pemerintahan di Indonesia.
Dalam perspektif sosio-governance, pasangan kepala daerah sering dipandang memiliki fungsi representatif, sosial, dan simbolik, misalnya dalam kegiatan pemberdayaan keluarga, PKK, dan agenda kemasyarakatan.
Aspek legalnya juga jelas dalam Pasal 9 ayat (1) Peraturan Wali Kota Palopo Nomor 1 Tahun 2024 yang mengubah Perwali Nomor 29 Tahun 2020 telah memberikan ruang dan mekanisme keikutsertaan pendamping dalam perjalanan dinas.
Artinya, negara melalui regulasi telah mengakui adanya dimensi protokoler, etis, dan sosial dari peran pendamping, selama dalam batas yang diatur.
Kehadiran bukan berarti ikut menetapkan kebijakan.
Permasalahan muncul ketika ruang yang sah secara hukum dibenturkan dengan opini politis.
Dalam kajian komunikasi politik, proses framing dapat mengubah peristiwa biasa menjadi narasi beraroma sensasi. Ketika sebuah kehadiran mulai diasosiasikan dengan “pengendalian pemerintahan”, persepsi dapat berubah menjadi opini, dan opini perlahan diterima sebagai “kebenaran politis”.
Di sinilah kapasitas komunikasi publik pemerintah diuji untuk menjembatani perbedaan antara fakta dan persepsi.
Kritik publik sesungguhnya merupakan bagian dari ekosistem good governance. Ia tidak perlu dihindari, tetapi dikelola. Kritik menjadi bermanfaat ketika digunakan untuk memperbaiki transparansi, memperkuat batas-batas kewenangan, dan meningkatkan literasi publik mengenai bagaimana pemerintahan bekerja.
Respons defensif justru berpotensi memperlebar ruang kecurigaan. Sebaliknya, langkah proaktif memperjelas proses pengambilan keputusan, membuka informasi secara proporsional, dan memberikan edukasi politik kepada masyarakat dapat memperkuat kepercayaan sekaligus menutup ruang bagi spekulasi.
Dalam pendekatan public service orientation, ukuran keberhasilan pemerintahan bukan ditentukan oleh siapa saja yang hadir mendampingi pejabat pada sebuah acara, melainkan oleh kinerja pelayanan publik, capaian pembangunan, dan keberpihakan kebijakan terhadap kebutuhan masyarakat.
Karena itu, penting untuk memastikan bahwa dinamika isu yang berkembang tidak menggeser fokus pemerintah dari tugas utamanya, melayani publik dan membangun daerah, menuju Palopo Baru.
Pada akhirnya, kesehatan demokrasi di Kota Palopo tercermin dari kemampuan publik dan pemerintah untuk berdiskusi secara dewasa.
Isu ini bukan semata tentang siapa yang hadir di ruang pemerintahan, tetapi tentang bagaimana masyarakat memaknai kekuasaan dan bagaimana pemerintah menjaga akuntabilitas.
Jika Pemerintah Kota Palopo mampu merespons isu ini dengan transparan, argumentatif, dan tetap fokus pada kinerja nyata, maka kepercayaan publik tidak hanya dapat terjaga, tetapi bahkan semakin menguat.(*)












