Hukum  

Penarikan Paksa Bisa Dijerat Pidana Berlapis, Belajar Dari Kasus DC SMS Finance Toraja

Praktisi hukum di Toraja, Jerib R Talebong, MH. (ist)

RANTEPAO, TEKAPE.co – Cerita Benyamin Kunne’ mungkin bisa terjadi pada siapa saja. Hanya karena menunggak angsuran dua bulan, truk yang ia gunakan untuk mencari nafkah dirampas oleh dua orang debt collector (DC) dari SMS Finance Toraja.

Yang lebih menyakitkan, penarikan itu tidak hanya terjadi secara mendadak di jalan, tetapi juga disertai intimidasi dan ancaman.

Kini, kasus ini sedang ditangani Polres Palopo dan menjadi perbincangan hangat soal praktik debt collector di Indonesia.

Awal Mula: Dari Nunggak Rp5 Juta, Berujung Rp20 Juta

Benyamin sebenarnya hanya terlambat membayar dua kali angsuran dengan total sekitar Rp5 juta dari pinjaman Rp55 juta.

Namun, saat membawa barang bangunan dari Toraja menuju Palopo, ia merasa diikuti.

Di Jalan Hombes, Kecamatan Telluwanua, ia dihentikan oleh dua debt collector.

“Mereka suruh saya tanda tangan selembar kertas. Saya takut, karena bilang ‘Polisi saja kami bisa tangkap, apalagi kamu’,” tutur Benyamin.

Truk itu kemudian dibawa pergi dengan alasan hanya akan dititipkan. Nyatanya, hingga kini kendaraan tersebut tidak jelas keberadaannya.

Untuk menebusnya kembali, Benyamin justru diminta membayar lebih dari Rp20 juta.

Info grafis Tekape.co

Apa Kata Hukum?

Banyak masyarakat yang masih mengira bahwa debt collector punya hak mutlak menarik kendaraan jika pemiliknya menunggak. Padahal, menurut hukum, itu tidak benar.

Praktisi hukum Jerib R Talebong, MH, Senin 1 September 2025, menegaskan bahwa eksekusi kendaraan kredit tidak bisa dilakukan sepihak.

“Leasing wajib mengajukan ke pengadilan. Debt collector tidak punya kewenangan hukum untuk menarik kendaraan begitu saja di jalan,” jelasnya.

Ia menambahkan, tindakan yang dilakukan debt collector dalam kasus Benyamin bisa dijerat dengan banyak pasal, seperti:

Pasal 368 KUHP → Pemerasan atau perampasan

Pasal 365 KUHP → Pencurian dengan kekerasan

Pasal 378 KUHP → Penipuan

Selain itu, Pasal 55 KUHP juga bisa digunakan untuk menjerat pihak perusahaan atau atasan debt collector yang memberi perintah.

“Jadi bukan hanya pelaku di lapangan yang bisa dihukum, tapi juga perusahaan yang menyuruh. Itu aturan jelas dalam KUHP,” tegas Jerib.

Mengapa Konsumen Selalu Rugi?

Kisah Benyamin menggambarkan posisi lemah konsumen. Sebagian besar nasabah leasing tidak paham hukum. Ketika dihadapkan dengan ancaman, mereka memilih diam atau pasrah.

“Kalau tidak lapor polisi, kasus saya mungkin hilang begitu saja,” kata Benyamin.

Padahal, masyarakat berhak dilindungi hukum. Undang-Undang Fidusia menyebutkan bahwa eksekusi barang jaminan hanya bisa dilakukan lewat pengadilan.

Artinya, kalau ada debt collector yang langsung menarik kendaraan di jalan, itu sudah masuk kategori pelanggaran hukum.

Polisi Mulai Bergerak

Polres Palopo telah mengeluarkan Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Pemeriksaan (SP2HP) pada 25 Agustus 2025, tanda kasus ini berjalan.

Kanit Pidum Polres Palopo, Ipda H Manurun, mengatakan pihaknya akan memanggil terlapor dan SMS Finance Toraja untuk dimintai keterangan.

Namun, publik masih menunggu langkah tegas: apakah aparat berani menyeret bukan hanya debt collector, tapi juga perusahaan pembiayaan yang berada di belakangnya.

Pelajaran untuk Masyarakat

Kasus ini memberi pesan penting:

1. Tunggakan bukan berarti kendaraan bisa langsung dirampas. Semua harus lewat pengadilan.

2. Debt collector tidak punya hak hukum menarik kendaraan di jalan. Jika ada, segera lapor polisi.

3. Perusahaan leasing juga bisa dipidana. Tidak hanya pelaku lapangan, tapi juga pihak yang memberi perintah.

“Jangan takut melapor. Hukum ada untuk melindungi masyarakat, bukan menakut-nakuti,” tutup Jerib.

Kasus Benyamin hanyalah satu contoh. Namun, ia membuka mata bahwa hukum sebenarnya berpihak pada rakyat kecil. Persoalannya, apakah aparat dan masyarakat berani menegakkan aturan yang ada? (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *